BBM : Bahan Banyak Mafia...

Bismillaahirrahmaanirrahiim...

Pemerintah dalam waktu dekat ini berencana menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Mungkin kita sudah tahu bersama, harga minyak dunia yang semakin tinggi dan konsumsi BBM kita (Indonesia) yang melebihi produksi dalam negeri menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor minyak.

Data dari CIA Worldfact mengungkapkan total konsumsi minyak Indonesia 1,292 juta barel per hari, sedangkan produksinya 1,031 juta barel per hari. Sehingga Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 271 ribu barel per hari. Itu kalau produksinya maksimal, kalau sumur minyak dalam negeri sedang seret, ya lebih banyak lagi butuh impornya.

Akan tetapi justru ketidak-adilan harga terjadi saat proses impor BBM ini. Pertamina bertanggung jawab  mengimpor BBM lewat anak perusahaannya yang disebut Petral (PT Pertamina Energy Trading Ltd).


Mari kita simak pendapat dari Rizal Ramli, mantan Menteri Perekonomian era Gus Dur mengatakan ( http://www.voanews.com/indonesian/news/Rizal-Ramli-Indonesia-Rugi-Rp-20-Miliar-Perhari-dari-Impor-Minyak-143760326.html ) :

Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan Rizal Ramli mengungkapkan Indonesia tidak perlu memberlakukan kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jika pemerintah mampu memberantas para mafia impor minyak. Rizal Ramli memprediksikan selama ini akibat ulah mafia impor minyak negara mengalami kerugian mencapai Rp. 20 miliar rupiah perhari.

 Menurut mantan menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini, mafia impor minyak selama ini sangat diuntungkan dengan proses pengadaan impor minyak dengan sistem tender. Apalagi setiap harinya Indonesia mengimpor sekitar 400 ribu barel minyak mentah dan 500 ribu barel minyak jadi seperti premium, solar dan minyak tanah.

“Ada mafia migas kelompok orang yang mendapatkan keuntungan 2-3 dolar perhari, kalikan 900 ribu barel, mereka dapat lebih dari 2 juta dolar, 20 miliar perhari, kalikan 360 mereka dapat lebih dari 7 triliyun, tetapi mereka ada karena dukungan dari kekuasaan, mereka menyogok orang-orang yang berkuasa,” ungkap Rizal Ramli.

Rizal Ramli menegaskan banyak jalan yang sebenarnya bisa dilakukan pemerintah selain memberlakukan kenaikan harga BBM. Jalan tersebut dapat berupa pemberantasan mafia impor migas dan pembangunan kilang baru.

“Ini luar biasa keterlaluan, kenapa tidak sikat mafia migas ini, bangun kilang sehingga ongkos memproduksi BBM itu lebih murah, kita sering dicekokin bahwa ini subsidi untuk rakyat padahal sebagian besar ini subsidi untuk KKN di sektor migas dan subsidi ketidakefisienan,” kecam Rizal.

Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI


Proses impor minyak ini pun menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Erik Satya Wardhana, memiliki banyak "kebocoran" dan tidak efisien. Berikut kutipan dari politikindonesia ( http://www.politikindonesia.com/index.php?k=pendapat&i=32164-Salah-Kelola-Petral-oleh-Pertamina ):

14/03/2012 12:22 WIB

Salah Kelola Petral oleh Pertamina

....

Soal pola pembelian melalui broker atau trader yang dilakukan oleh Petral dalam pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minya (BBM) jenis premium.  Secara logika, pembelian tidak langsung (melalui broker/trader) pasti akan lebih mahal dari pada pembelian langsung kepada produsen. Kondisi ini menjadi penyebab tingginya biaya pengadaan, yang secara otomatis memberi kontribusi bagi mahalnya harga minyak di dalam negeri yang berakibat pada beban APBN.

Fakta ini, ujar Erik, dapat dilihat dalam kejanggalan pada kasus pengadaan minyak mentah jenis azari crude yang dilakukan Petral. Dimana, harga dari Socar yang merupakan produsen azeri crude ternyata lebih mahal dari harga yang ditawarkan PTT Thailand yang merupakan trader.

Sedangkan penjelasan Vice Presiden Marketing Petral pada 23 Februari lalu, bahwa alasan dimenangkannya PTT Thailand karena harga yang ditawarkan lebih rendah dibanding Socar. “Ini aneh, karena PTT Thailand pasti memperoleh azari crude dari Socar. Bagaimana mungkin harga trader lebih rendah dibanding harga produsen.”

...
Persoalan lainnya yang melingkupi Pertal, adalah terkait beban transportasi. Erick mengaku menerima data adanya inefsiensi dalam pengapalan minyak. Berdasarkan data yang diterima, besarnya inefisiensi di proses pengapalan mencapai sekitar Rp26,1 miliar sebulan atau lebih dari Rp300 miliar setahun.

“Lagi-lagi ini akibat praktek broker yang menyebabkan biaya sewa kapal menjadi terlalu besar, jauh di atas harga yang wajar. Kalau di total permainan dalam pengadaan crude oil, premium, solar dan avtur, inefisiensi Petral bisa mencapai sekitar Rp.4 triliun dalam setahun,”
...

Erik Satrya Wardhana, Wakil Ketua Komisi VI DPR


Dari artikel-artikel di atas ada tiga hal yang saya highlight :
1. Indonesia mengimpor BBM lewat broker alias "calo"
2. Ada permainan dalam tender sehingga "pasti" menang broker / perantara / "calo" daripada PRODUSEN
3. Biaya lewat broker / perantara / "calo" pasti lebih tinggi.

Dari sini dapat kita lihat bahwa, masalah BBM adalah masalah "ladang uang" yang tidak sedikit bagi banyak pihak. Sungguh tidak masuk di akal bahwa menurut pengakuan Pertamina, harga beli di produsen lebih mahal daripada harga beli di toko / perantara. Apakah tidak aneh?

Sungguh kita telah dipermainkan. Harga BBM telah dipermainkan. 230 juta rakyat Indonesia telah dipermainkan. Apa yang bisa kita lakukan?


 Jadi, sebetulnya kenaikan BBM untuk apa? Harga BBM dikendalikan oleh siapa?

Mengapa tidak bisa transparan dalam pengadaannya, langsung dari produsen saja sehingga harga lebih murah?

Memang banyak pr-pr lain yang harus kita kerjakan dalam urusan BBM ini :
1. Peningkatan produksi minyak dalam negeri
2. Penghematan penggunaan BBM, beralih ke Gas dan Listrik, serta energi alternatif lain seperti Matahari (Solar) dan BIOFUEL.

Sekian dulu... mudah2an bermanfaat..

Semarang
22032012

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar