APBN Defisit, sudah menjadi rahasia umum barangkali. Saya pribadi
baru menyadarinya sejak tahun 2008 setelah lulus kuliah. Mungkin saking
terlenanya saya oleh “dunia akademis” sehingga tidak sempat memikirkan
hal-hal yang berbau “isu nasional”.
Sempat kaget juga, sampai-sampai mata ini rasanya terbelalak
menyaksikan angka minus tersebut. Ah, tapi saya ga mau mikir yang
berat-berat Yang kalo dijabarkan bakalan sehari semalem baru kelar..
Yang jelas-jelas “terasa” aja deh, kenapa anggaran negara ini bisa
“Besar Pasak Daripada Tiang?”
Secara logika umum, jika defisit ada dua hal yang bisa dilakukan :
Menaikkan Pendapatan dan Menurunkan Pengeluaran. Bisa salah satu atau
dua-duanya. Yang mana yang paling realistis.
Mari kita lihat dari pengeluaran.. Yang katanya paling besar porsinya
setelah anggaran pendidikan (yang dipatok 20 %) adalah subsidi energi
yang mencapai 15 % lebih dari total belanja negara, bahkan di APBN-P
mungkin mendekati 20 %…
Tentang subsidi energi, ini yang baru aja rame banget dibicarakan..
Sangat pelik dan pahit. Indonesia belum mandiri secara energi. Padahal
negara ini terkenal dengan berbagai macam potensi Sumber Daya Alamnya.
Fosil dan Non-Fosil. Tapi kita sudah terbingkai dan kebablasan
ketergantungan pada sumber energi fosil yang dikuasai asing. Akhirnya
terkatung-katung, kebirit-birit nutupi subsidi.
Listrik yang sudah terlanjur mudah didapat jadi salah satu “peminum
subsidi” yang banyak. Tingkat pertumbuhan listrik di masyarakat yang
semakin besar tidak didukung oleh strategi antisipatif yang baik. Banyak
pembangkit masih “minum” BBM, yang harganya semakin selangit. Sedangkan
harga jual listrik ke masyarakat harus murah. Akhirnya subsidi.
Mau pindah ke lain hati, eh, pindah ke lain sumber energi bukan hal
mudah. Pakai gas, harus bangun infrastruktur pipa gas yang tidak dekat.
Pakai batu bara, bangun PLTU-nya bermasalah. PLTU dikuasai kontraktor
C*na yang bilangnya murah tapi akhirnya malah ga terarah. Sering
perbaikan daripada operasi.
Sebenarnya, subsidi energi merupakan hal yang wajar dan harus
dilakukan pemerintah. Lihat UUD 1945 Pasal 33, memang sudah menjadi
kewajiban pemerintah mensejahterakan masyarakat pada level kebutuhan
dasar. Hanya mungkin masalah salah kelola di sana sini yang menyebabkan
“kebablasan subsidi energi”.
Subsidi tetap harus ada, tapi untuk kalangan yang tepat. Bagaimana
membatasi warga2 mampu untuk membeli BBM bersubsidi. Mereka tetap dapat
subsidi tapi dibatasi.
Kembali lagi tentang APBN. Mengapa seolah-olah pemerintah “santai”
dengan defisit APBN? Ini tidak masuk logika akal sehat saya. Kenapa
perencanaan kok defisit. Di tahap perencanaan seharusnya dibuat
bagaimana caranya supaya imbang, bahkan surplus.. Kalo memang
pelaksanaannya defisit ya lain lagi. Ini kok terbalik ya?
Apa ini cerminan bangsa kita? Masalah anggaran defisit “dianggap
santai”, dengan gampangnya nanti jadi berhutang. Apa ini sengaja dibuat
agar negara kita selalu berhutang? Dengan anggaran defisit ini jadi
pembenaran kita untuk terus menambah hutang2 baru ke pihak asing?
Saya kira ini jadi bukti kemalasan kita.
Semarang
04042012
Ayat-Ayat Cinta-Nya
4 bulan yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar